Cari Blog Ini

Jumat, 03 Februari 2017

Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu(cerita)


Oleh : Neno Warisman - 'Izinkan Aku Bertutur'

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada  ayahnya: "Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!" Suamiku  menjawab: "Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak
lelaki ingin seperti aku." Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatam kan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya dia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah." Suamiku menatap padaku seraya  pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya.  Tidak  berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia  Ahmad.
Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika.
 Ia  kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.

Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan  rapi
Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang  menyebabkan
papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah
terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia  kelelahan..
Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya
pecah,  Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima. Sejak hari
 itu,  Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak
 lagi  suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati
 suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak
 mau  diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda
gagah,  pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang
 cucu.
 Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
 "Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!" Ahmad
 menoleh  dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. "Salahmu. Kamu
 yang  ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!"
 Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku.
 Ada  yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami,
nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya.
 Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak  menghentak,
 "Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!" Dengan kasar
disorongkannya bayi mungil itu. Suamiku membaca korannya, tak tergerak
 oleh  suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.
 Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang  istri  dan
 seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.
Pecahlah  tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di
 tangan  suamiku dan kukatakan padanya: "Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai
 itu!  Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di
punggungmu!  Dan  ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau
 dengar?  Kau  dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya
 sendiri!"

 Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.
 Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu
di  punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan
 menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang
 berkata  ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, "Bekas najis
 ini  bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang  putus di  kepalanya?" Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku  yang  tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air  mata.
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah
begitu?
 Lalu  kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada  Ahmad.
 Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak  merasakan
 sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.
 Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka  berdua,
 "Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak
 mampu  mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki
 yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia.
Tak  akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa
 kasih  dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya
 pelajaran  untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa
 perasaan.


 Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki  dewasa
 dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk
 berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan  suamiku.
 Aku bilang: "Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang." Dua laki-laki
dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian
 menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil
 tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut
 rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah
 menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan
 dengan kata, atau sentuhan.

 Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia,  syukur
 pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan  tampak
 buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku. Tiga laki-laki dalam
 hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh  bertemu
 dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah  mencoba
  sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu

 Amin, alhamdulillah

Tidak ada komentar: